Dapat
artikel menarik nih yaitu tentang sejarah pak Karno terutama
kisah-kisah masa kecilnya. Amat cocok bagi teman-teman yang ingin
merubah nasibnya menjadi lebih baik. BAhwa kesuksesan tidak harus
dimulai dari modal yang besar saja..melainkan tekad dan semangat untuk
maju dan juga tekad yang kuat untuk berhasil menggapai semua cita-cita.
Lebih lanjut mengenai kisah kecil soekarno simak artikel berikut:
Bung Karno: Bisa Benjol!
Walentina Waluyanti – Holland
Buat
Bung Karno, nampaknya kesengsaraan tidak ada hubungannya dengan gaya
dan penampilan. Bung Karno tidak menutup-nutupi masa lalunya yang
melarat. Tentang bagaimana di masa kanak-kanaknya, dirinya tidak pernah
mengenal sendok dan garpu.
Bung Karno juga mengenang bagaimana
anak tetangga lain yang juga miskin, tapi mereka masih bisa membeli
jajan buah pepaya dan lainnya, sementara dirinya sama sekali tidak
mampu. Bahkan di hari Idul Fitri, dia cuma bisa menatap sedih anak-anak
miskin lain mampu membeli petasan yang harganya cuma satu sen itu,
sedang dirinya tidak. Satu sen pun dia tak punya!
Dia juga
menceritakan, bagaimana di keluarganya dulu bahkan makan satu kali
sehari pun, kadang tidak mampu. Tak jarang mereka hanya makan ubi kayu
dan jagung tumbuk. Untuk membeli beras paling murah pun, ibunya tak
sanggup. Solusinya, ibunya membeli padi yang masih harus ditumbuk untuk
memperoleh butiran beras. Karena dengan cara begitu, mereka dapat
menghemat uang satu sen dan dengan satu sen itu ibunya bisa membeli
sayur.
Mungkin juga karena tumbuh dalam kondisi serba terbatas
itu, Bung Karno tumbuh sebagai anak penyakitan. Kata Bung Karno, “Aku
memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria,
disentri, semua penyakit dan setiap penyakit”. Menurut kepercayaan
tradisional, anak sakit-sakitan harus diganti namanya. Karena itu Kusno
nama kecilnya, diganti ayahnya menjadi Soekarno.
Ketika kelak
tumbuh sebagai remaja, dan sudah mempunyai kesadaran berpenampilan,
kemiskinan itu tampaknya tak mempengaruhi Bung Karno dalam bergaya.
Kiriman
uang saku dari orangtuanya dan ekstra uang saku dari Pak Poegoeh kakak
iparnya di Surabaya, dihematnya sen demi sen. Namun itu tak berarti
dirinya tidak bisa tampil keren. Tampak dari foto-fotonya, sejak muda
Bung Karno selalu berbusana apik dan menawan. Biar kalah nasi, yang
penting tidak kalah aksi! Tampaknya sejak muda Bung Karno sudah punya
bakat sebagai pencipta trend mode di jamannya.
Di dalam buku
“Sukarno Penjambung Lidah Rakjat”, Bung Karno bercerita tentang
perselisihannya dengan penghulu. Ketika itu akan dilangsungkan
pernikahannya dengan Utari, putri HOS Tjokroaminoto. Itu adalah
pernikahan pertama bagi Bung Karno. Penghulu memintanya untuk melepaskan
dasinya. Soalnya dasi itu dianggap simbol budaya Kristen. Bung Karno
tidak bisa mengerti larangan itu. Dia berusaha menjelaskan, dirinya
sangat menyukai berpakaian pantas dan rapi. Tapi penghulu tidak mau
menerima alasan itu. Karena Bung Karno tetap ngotot mengenakan dasi,
penghulu mulai menggertak. Penghulu menolak menikahkan jika Bung Karno
tidak melepaskan dasinya!
Bukannya ciut oleh gertakan tadi, Bung
Karno malah semakin marah. Persetan! Rasanya dia lebih baik tidak
menikah saja kalau soal berpenampilan pun, dirinya mesti diatur-atur.
Bung Karno menulis, “Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun,
takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Bung Karno menjadi
emosi oleh penghulu yang mencoba mengatur dan mengancamnya. Lalu dia
menggeledek, “Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak, dan saya akan
selalu memberontak, saya tidak mau didikte orang di hari perkawinan
saya!”.
Sebagaimana umumnya lelaki, Bung Karno juga pernah
berusaha menumbuhkan kumisnya. Mungkin bisa tampak lebih gagah dan
ganteng. Tapi sayang usaha itu sia-sia. Kumisnya hanya tumbuh sebaris
tipis saja. Sejak itu dia tidak pernah lagi mencoba-coba jadi “Pak
Kumis”. Tetap bergaya klimis rapi.
Di
sebuah majalah jadul, saya pernah membaca wawancara dengan Dewi
Soekarno. Dewi bercerita tentang bagaimana Bung Karno tetap
memperhatikan penampilannya, juga ketika usianya beranjak senja. Bung
Karno sering memintanya menolong bukan saja mengecat rambutnya yang
beruban, tapi juga alisnya! Sebelum Bung Karno berpidato, untuk
menyamarkan pucat di wajahnya, tak jarang Dewi membubuhi sedikit rona
merah dengan pupur membayang tipis di wajah suaminya itu.
Kesukaan
Bung Karno akan gaya dan penampilan mematahkan pendapat orang tentang
pria Jawa yang umumnya berpenampilan seadanya. Sudah banyak yang
membahas bagaimana peran Bung Karno sebagai trend setter mode pria di
Indonesia. Mulai dari idenya tentang pemakaian kopiah yang hingga kini
dipakai pria Indonesia dan menjadi salah satu identitas bangsa. Juga
gaya busananya yang banyak ditiru pria di jamannya. Misalnya stelan jas
putih dan baju safari lengan pendek maupun lengan panjang.
Baju
kepresidenannya yang bergaya militer membuatnya tampak gagah
berdampingan dengan pemimpin dunia lainnya. Baju itu adalah hasil
rancangannya sendiri. Karena itu Bung Karno pernah tersinggung dengan
kritik Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang (kala itu masih
kolonel) yang menyarankan Bung Karno agar tidak memakai baju militer
dengan segala atributnya itu.
Sejak menjadi pemimpin bangsa,
Bung Karno tak pernah tampak mengenakan pakaian adat yang mewakili suku
tertentu. Dia punya alasan khusus tentang ini. Bukan karena tidak
mencintai tradisi. Justru sebaliknya dialah penganjur tradisi budaya,
termasuk pakaian adat. Namun sebagai kepala negara, dia memposisikan
dirinya harus netral berdiri di atas semua golongan demi persatuan dan
kesatuan bangsa. Karena itu dia mengorbankan identitas sukunya dengan
sama sekali tidak pernah berpakaian daerah.
Walaupun semasa
menjadi presiden tidak pernah berbusana daerah, namun Sukarno punya
kepedulian terhadap pelestarian batik. Sukarno menghidupkan tradisi
pameran batik di istana negara. Salah satu konsep Sukarno tentang batik
khas Indonesia yaitu batik motif Terang Bulan. Motif batik ini kemudian
dirintis dan diwujudkan oleh Ibu Sud atau Saridjah Niung Bintang
Soedibjo.
Dulu Bung Karno sering meledek Ibu Sud yang berpinggul
besar itu dengan julukan “bokong gede”, menunjukkan pertemanan mereka
yang akrab. Karena keakraban itu, Ibu Sud paham bagaimana menerjemahkan
batik Indonesia konsep Bung Karno. Selain dikenal sebagai pencipta lagu
kanak-kanak, Ibu Sud (nenek disainer busana Carmanita) ini memang juga
seorang pembatik. Motif batik Terang Bulan konsep Sukarno adalah batik
yang mengkombinasikan motif batik kraton dan batik pesisir.
Batik Terang Bulan Konsep Bung Karno yang diwujudkan Ibu Sud
Orang
sering menggeneralisir adat etnis dengan cara seseorang dalam
berpenampilan. Pada Sukarno, gaya dan penampilannya lebih pada soal
insting, selera, kesadaran dan pemahamannya tentang estetika. Bukan
sekedar karena harus menjaga penampilan sebagai kepala negara . Karena
jauh sebelum menjadi pemimpin bangsa pun, penampilannya selalu terjaga
apik, sampai rela adu mulut dengan penghulu nikah.
Kecenderungannya
untuk selalu tampil representatif nampaknya memang sudah bakat
natural-nya. Sudah dimulai sejak remaja. Selalu tampak begitu flamboyan.
Sukarno memang punya selera. Sebagaimana dikatakannya ketika
membetulkan dasi Menhan Amerika, “Tuan punya bom atom, tapi kami punya
seni yang tinggi!”. Kesenimanan Sukarno membuatnya memandang mode dan
gaya juga adalah bagian dari seni.
Itu diakuinya sendiri ketika
perasaannya remuk akibat dikurung di penjara Banceuy Bandung yang
lebarnya 1,50 meter dan panjangnya seperti peti mayat. Dikatakannya,
“....aku rasanya hendak mati. Pengalaman yang meremukkan. Aku adalah
seorang yang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah orang yang suka
memuaskan perasaan. Aku menyukai pakaian bagus....”.
Ketika Bung
Karno sekeluarga tiba di Jakarta 9 Juli 1942 dari pengasingannya di
Sumatera, topik yang paling pertama ditanyakannya adalah “mencari tukang
jahit”. Saat itu kapal laut “Van Riebeeck” yang ditumpanginya berlabuh
di pelabuhan Pasar Ikan, di Penjaringan Jakarta Utara. Di masa lalu
pelabuhan Pasar Ikan dikenal juga dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa.
Berita kembalinya Bung Karno di Jawa, setelah pembuangan di Sumatera
Orang
pertama yang menjemputnya di pelabuhan itu adalah Anwar Tjokroaminoto,
adik Utari, bekas adik iparnya. Melihat jas Anwar yang keren, Bung Karno
lalu menyadari jas putih plus celana kedodoran yang dikenakannya sudah
ketinggalan jaman. Betapa berbeda dengan stelan jas Anwar warna ivory
yang dilihatnya jauh lebih modern.
“Jasmu bagus sekali
potongannya”, puji Bung Karno. Anwar hidungnya kembang kempis dipuji
Bung Karno. “Bikinan penjahit De Koning”, sahut Anwar berlagak. Anwar
lalu buka rahasia bagaimana caranya ke penjahit itu, dengan harga
miring. “Melalui pintu belakang”, bisik Anwar. Bung Karno segera
tertarik ingin menjahit bajunya di penjahit yang tergolong penjahit
terbaik dan mahal di Jakarta di kala itu. “Apa dia mau menjahit
untukku?”, tanya Bung Karno pada Anwar. Percakapan selanjutnya antara
keduanya bukan tentang strategi perjuangan, tapi kasak-kusuk tentang
baju. Nah, ternyata omong-omong soal baju bagus bukan cuma monopoli
perempuan saja.
Di kemudian hari, Bung Karno yang pesolek
melengkapi gaya busananya dengan tongkat komando. Banyak orang percaya,
tongkat komando itu adalah jimat saktinya. Tapi Bung Karno membantah.
Tongkat komando itu semata-mata untuk menunjang gayanya. Dia menyebut
dirinya “pelagak”. Dia berkata bahwa tongkatnya sama sekali tidak sakti,
“tapi kalau diketok di jidat, ya bisa benjol”.
Bung Karno: Tongkat komando ini tidak sakti, tapi bisa bikin benjol!
Ide,
inspirasi, karya, cita-cita memang tidak perlu selalu ditentukan oleh
mahal dan mewahnya gaya hidup, gaya berbusana dan gaya berpenampilan.
Dengan kepantasannya mempresentasikan diri, Bung Karno mampu memberi
citra tersendiri bagi bangsanya di dunia internasional. Padahal kondisi
Indonesia ketika itu masih begitu miskin. Dengan gayanya sebagai
“pelagak”, dia mampu menyejajarkan bangsanya dengan para penista
kemiskinan yang pongah itu.
Ya, apa salahnya jika gaya dan
penampilan bisa membuat seseorang menjadi bergairah dan inspiratif dalam
mewujudkan ide, karya dan cita-citanya?
Walaupun senang
bergaya, Bung Karno tidak silau harta. Di akhir kekuasaannya, kala
dipaksa meninggalkan istana oleh Suharto, Bung Karno ternyata tidak
turut membawa serta kemeja-kemeja favoritnya “Arrow”, arloji Rolex dan
benda berharga lainnya. Semua itu digeletakkannya begitu saja.
Kemeja Arrow di balik jas Bung Karno
Menurut
kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid (anggota Detasemen Kawal
Pribadi/DKP), Bung Karno meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967,
hanya ber-kaos oblong cap cabe, celana piyama krem dan bersandal merk
Bata yang sudah usang. Di pundaknya tersampir baju piyama-nya.
Tangan
kanannya menggenggam sesuatu yang sangat berharga. Lebih berharga
daripada kemeja Arrow, parfum Shalimar favoritnya, uang dollar dan emas
batangan yang tak ikut dibawanya, dan hingga kini tak diketahui di mana
semua itu. Hanya satu benda yang dibawanya ketika meninggalkan istana.
Benda yang merupakan simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk
bangsanya. Itulah yang digenggamnya erat, yaitu bendera pusaka yang
dibungkus gulungan kertas koran, hasil jahitan Fatmawati istrinya. Toh
walau berkaos oblong seadanya, semua itu tidak membuat kewibawaannya
serta merta sirna.
Wibawanya itu bahkan tetap hidup hingga kini,
walaupun jauh sebelumnya dia sudah mengalami “pembunuhan” secara
perlahan di pengasingannya di Wisma Yaso. Bung Karno seakan menyadari
itu. Karena itu, menurut Sidarto Danusubroto ajudannya, Bung Karno
menulis di bukunya kalimat filsuf Jerman Ferdinand Freiligrath, “ Man
töten den Geist nicht”. Ya, tak ada yang bisa membunuh jiwa.
Gaya
dan penampilan memang tidak kekal. Tapi melalui kekekalan jiwanya, gaya
dan penampilan Bung Karno menjadi kenangan kekal yang tetap tergores
dalam sejarah.