JONG JAVA
Jong Java (sebelum tahun 1918 bernama Tri Koro Dharmo)
Berbicara
tentang perhimpunan pelajar yang pertama dan yang terbesar di tanah Jawa,
adalah Jong Java ). Pada tahun 1915 pelajar STOVIA Satiman Wirjosandjojo
mengam-bil inisiatif mendirikan perhimpunan untuk para pelajar pendidikan
menengah dan lanjut. Mahasiswa kedokteran ini untuk pertama kali menjadi berita
tahun 1912, ketika ia dengan keras memprotes peraturan tentang pakaian di
sekolah kedokteran di Batavia .
Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan
mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat kepala). Di atas udheng itu dikena-kan
topi berlambang kedokteran. Suatu pemandangan yang menggelikan, karenanya
calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu dicemoohkan
orang sebagai "kondektur trem". Satiman berjuang agar para pelajar
dapat mengenakan "pakaian bebas". Dalam praktek itu berarti hak untuk
berpakaian sebagai orang Barat. Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya
direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan itu, terutama karena
ternyata pakaian Barat agak lebih murah daripada pakaian Jawa. Dengan
sendi-rinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan berpendi-dikan baik itu
di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari
orang-orang setanah airnya dengan menggunakan gaya pakaian si penjajah. Para
pelajar STOVIA itu adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan
antara sesamanya mereka berbicara Belanda.Ini tidak berarti bahwa rnereka
mencampakkan budaya Jawa. Satiman justru ingin menghidupkan kembali budaya itu.
Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman dan Soenardi ia mendirikan Tri
Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang menjadi pendahulu Jong Java. Yang menjadi
anggota pertamanya adalah lima
puluh pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan
Koningin Wilhelmina School (KWS). Ketiga tujuan mulia itu
adalah:"Mengadakan hubungan antara para pelajar Pribumi yang be-lajar di
sekolah-sekolah tinggi dan menengah, dan juga di kursus-kursus pendidikan lanjut
dan vak. Membangkitkan dan meningkatkan minat terhadap kesenian dan bahasa
Nasional. Memajukan pengetahuan umum para anggota." (diambil dari
JongJava's Jaar-boekje 1923: 115-16). Tujuan itu menyatukan dua prinsip dasar
yang hidup di kalang-an pemuda itu. Yang pertama adalah perlunya edukasi,
pengetahuan, pendidikan. Ini berarti pertama-tama pengetahuan Barat yang
merupakan prasyarat mutlak kemajuan masyarakat Jawa. Pengetahuan mengenai ilmu
dan teknologi Barat, pengetahuan tentang bahasa-bahasa Eropa merupakan kunci
kemajuan. Yang kedua adalah cinta kepada budaya Jawa. Para
pemuda priyayi itu menaruh hormat kepada tradisi Jawa, budaya nenek-moyang yang
pernah menjadi penguasa-penguasa perkasa kerajaan Majapahit dan Mataram.
Sebagaimana semua priyayi yang lain, mereka sadar sedang hidup di Jaman Edan
(}a-man Gila), ketika kesenian Jawa tenggelam. Sebagaimana para anggota Comite
voor het Javaans Nationalisme mereka menaruh minat yang besar terhadap budaya
Jawa, mendambakan sekali pulihnya Jawa masa lalu. Ketua Satiman mengecam para
pemuda Jawa yang untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut mereka pergi ke Eropa
dan berusaha menjadi orang Barat. Budaya sendiri mereka buang dan lupakan.
Satiman membayangkan keadaan budaya jawa itu sebagai tanah bera.
Jong Sumatra
Sumatranen Bond,
Jong
Suatu organisasi
kedaerahan yang didirikan oleh pemuda-pemuda Sumatera di Jakarta pada tanggal 9
Desember 1917. Bertujuan menanamkan kepedulian terhadap kebudayaan sendiri dan
memperkokoh hubungan murid sekolah menengah dari Sumatera. Organisasi tersebut
muncul sebagai wujud kesadaran di kalangan pelajar-pelajar di Jakarta yang
berasal dari Sumatera akan pentingnya organisasi, dan adanya rangsangan yang
timbul setelah terbentuknya Jong Java, sehingga membuat mereka tergerak pula
untuk mendirikan organisasi pemuda.
Jong Sumateranen
Bond dijadikan sarana untuk memperkokoh hubungan antara sesama pelajar Sumatera
di Jakarta, untuk menanam keinsyafan bahwa mereka nantinya menjadi pemimpin,
dan untuk membangkitkan perhatian terhadap adat istiadat, seni, bahasa,
kerajinan, pertanian, dan sejarah Sumatera. Usaha-usaha yang dilakukan
organisasi ini adalah menghilangkan perasaan prasangka etnis di kalangan orang
Sumatera, memperkuat perasaan saling membantu, dan mengangkat derajat penduduk
Sumatera dengan jalan mengadakan kursus-kursus, ceramah-ceramah, dan
propaganda-propaganda. Selain itu juga menerbitkan publikasi-publikasi yang
diberi nama Jong Sumatera.
Jong Sumateranen
Bond ternyata diterima oleh pemuda-pemuda Sumatera yang berada di kota-kota
lain. Pada awal berdirinya, organisasi ini beranggotakan 150 orang. Satu tahun
kemudian, jumlah ini meningkat menjadi 500 orang. Selain di Jakarta sebagai
pusatnya, juga dibuka cabang di Padang
dan Bukit Tinggi. Enam cabang organisasi mereka bentuk di Jawa, yaitu di Jakarta , Bogor , Serang, Sukabumi, Bandung , Purworejo; dan dua di Sumatera,
yaitu di Padang
dan Bukit tinggi. Pada bulan Juli 1919, Jong Sumateranen Bond mengadakan bulan
kongresnya di Padang ,
meskipun pengurus besar organisasi tetap di Jakarta . Sejalan dengan makin menebalnya
perasaan nasional dan pemakaian bahasa "Melayu" di kalangan pemuda,
nama organisasi Jong Sumateranen Bond kemudian diganti menjadi Pemuda Sumatera.
Dari kalangan mereka inilah nantinya muncul tokoh-tokoh nasional seperti
Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dsb. Mohammad Hatta, setibanya di tanah air
setelah memperoleh gelar meester dari Sekolah Bisnis Rotterdam, menjabat
sebagai sekretaris dan bendahara Jong Sumateranen Bond pusat. Muhammad Yamin
menjabat ketua Jong Sumateranen Bond mempunyai peranan besar dalam memperkuat
perasaan nasional, khususnya di kalangan pemuda.
Organisasi ini
bersama-sama dengan organisasi pemuda lainnya berperan besar dalam menyatukan
organisasi-organisasi pemuda setelah lahirnya Sumpah Pemuda. Sesungguhnya,
sebelum Sumpah Pemuda, Jong Sumateranen Bond bersama-sama organisasi pemuda
lainnya telah merintis usaha untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda.
Pada tanggal 15 November
1925 , diadakan pertemuan di Jakarta
untuk membicarakan kemungkinan diadakannya pertemuan pemuda yang mencakup
berbagai organisasi pemuda. Dalam pertemuan ini wakil dari Jong Sumateranen
Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun, dan beberapa peminat
lainnya sepakat membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan rapat besar
pemuda. Panitia ini bertugas menggugah semangat bekerja sama di antara berbagai
organisasi pemuda Indonesia
untuk mewujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia . Jong Sumateranen Bond
menempatkan wakilnya duduk dalam kepanitiaan ini, yakni Jamaluddin Adinegoro
sebagai sekretaris panitia, Sarbaini dan Bahder
Johan sebagai
anggota pada tanggal 30 April 1926 berhasil mengadakan rapat besar pemuda di
Jakarta, yang kemudian terkenal dengan nama Kongres Pemuda
JONG MINANG KABAU
Minang atau
Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh
daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan
Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang,
merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun
masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak
(bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).[3]
Menurut A.A.
Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang
tumbuh dan besar karena sistem monarki,[4] serta menganut sistem adat yang
khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau
matrilineal,[5] walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama
Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke
pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa
Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian
penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.[6]
Saat ini
masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di
dunia.[7][8] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi
sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal
penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam
pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan
hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran
Islam.[9]
Orang
Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan
Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.[10] Hampir separuh
jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta , Bandung , Pekanbaru, Medan , Batam, Palembang , dan Surabaya . Di luar wilayah Indonesia ,
etnis Minang banyak terdapat di Negeri
Sembilan , Malaysia
dan Singapura.
Masyarakat
Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang , dan sangat
digemari di Indonesia
bahkan sampai mancanegara.[11]
JONG BATAK
Oleh : Hotman
Jonathan Lumbangaol | 12-Jan-2009 ,
22:09:21 WIB
KabarIndonesia -
Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan
27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan
kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan.
Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.
Karakternya
sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa
remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan
sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG.
Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai
anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota
Leiden , Belanda
mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.
Di Belanda, Amir
aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem . Selama masa itu pula dia aktif
mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen
menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua
sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama
Dirk Smink.
Kristen Calvinis
adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit
ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim.
Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia
tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh.
Tiap hari Minggu
turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang.
Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan
tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai
seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan
humor, karenanya ia menjadi sangat populer.
Sebagai orang
yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya
kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan
dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur ,
Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang
Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering
Amir berkotbah.
“Kohtbahnya
bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai
Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum
sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah
keluar semua. Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu
mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya
harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar
Ade Rostina Sitompul.
Soal semangatnya
Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa
adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup
dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang.
Dia dikenal
sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh
pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi
Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal,
tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik
orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar.
Amir tidak hanya
pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari
Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia , dia
terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia
(Partindo).
Lalu, mendirikan
Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun
1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar
Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran
"Massa Actie".
Tahun 1942,
sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan
Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia
tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu
membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir
dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25
ribu Gulden dari Van der Plas.
Untuk hal ini,
Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak
dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence
Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni
1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa
dan orang yang tak mengenal kata takut".
Juli 1945, Amir
menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang
sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru
ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa
depannya. Berbuat untuk negara ini.
Pendiri Jong
Batak
Tahun 1925,
sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi
Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan
organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas
kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong
Sumatra “ itu.
Atas kesadaran
itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah
satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi,
pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan
tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas
dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni
bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita
memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua
kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak.
Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang
dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…”
(Hans Van Miert, hal 475).
Dihapus dari
Sejarah
Dia dieksekusi
pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat
berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak
bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya.
Lawan politiknya menyebutnya dia arogan.
Pada 29 November
1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di
Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir
sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru
menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol,
janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan.
Amir diberondong
senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua
malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu
tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya
mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.
Untuk terakhir
kalinya, Amir sempat menulis surat
untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale
baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan
Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen,
bukan Alkitab.
George Mc Turnan
Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir
Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa
ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin
"kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville".
Kegengerian itu
tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah.
Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950 ,
pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu.
Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga,
dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar.
Masa Orde Baru
tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu
ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen.
Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga
kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga.
Warga desa
Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat
itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut
dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat
pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta
pihak Departemen Pertahanan Keamanan.
Informasi
tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar
sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak
yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu
dibragus.
Satu fakta,
Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan
Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit
Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir
Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu
di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia .
Pada 27 Mei 2008
lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk
“Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil
sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir
Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen
sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman.
Perjuanganya
tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu
60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint
Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang
didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran
tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain:
Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas
HAM.
Lalu dilakukan
pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint
Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan
Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah
Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja,
LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta .
Saat ini di Desa
Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya
tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir
Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga
Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah
kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis.
Tetapi
kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi
dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama
anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan,
seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya.
Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia,
bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh
perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang
tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap. (*)
jong Ambon
Organisasi Ambon Muda atau Pemuda-pemuda Ambon pada masa pergerakan nasional sebelum Sumpah Pemuda.
Maksud dan tujuannya adalah menggalang persatuan dan mempererat tali
persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Ambon (Maluku). Salah satu tokoh Jong Ambon
yang terkenal adalah J. Leimena.